25 Feb 2011

Eksotisme Bukittinggi

Cuaca sejuk dan bersahabat di sepanjang jalan Padang Lua, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, bisa langsung terasa ketika memasuki Bukittinggi. Bagi pelancong, gapura selamat datang menjadi tanda memasuki kota berhawa sejuk di Sumatera Barat ini.

Rindangnya pepohonan dan beragam jenis penginapan, restoran, serta perkantoran mengantarkan pelancong ke titik nol kota. Wilayah ini baru saja disejajarkan sebagai daerah berfasilitas wisata terbaik sejajar dengan Denpasar dan Toraja.

Titik nol kota Bukittinggi dimulai dari puncak tertinggi di kota tersebut. Itu ditandai dengan menara setinggi 26 meter bertahtakan jam berukuran besar, atau  dikenal dengan Jam Gadang, yang merupakan ikon pariwisata Sumatera Barat.

Dahulu, diperkirakan Jam Gadang berfungsi sebagai menara pengintai saat pendudukan Belanda. Lokasi Jam Gadang memang berada berhadap-hadapan dengan Istana Bung Hatta yang hanya berjarak sekitar 300 meter.

Saat pendudukan Belanda, istana tersebut menjadi kantor Sekretaris Kota Bukittinggi (Contoleur) Rook Maker. Sejarah mencatat, Rook Maker lah yang merencanakan pembangunan menara jam ini yang kemudian dirancang oleh seorang arsitek yang bernama Yazid Sutan Ameh pada 1926.

Menara yang dihiasi jam besar hadiah Ratu Belanda ini dibangun dengan dana sebesar 3.000 Gulden. Angka yang fantastis tentunya pada saat itu. Dulu, Jam Gadang yang mukanya mengarah ke empat penjuru mata angin ini menjadi satu-satunya bangunan tertinggi di Bukittinggi. Tetapi saat ini, banyak bangunan lain seperti hotel dan pusat perbelanjaan yang menyaingi tingginya menara jam tersebut.

Jam Gadang tercatat melakukan evolusi bentuk, khususnya bagian puncak menara. Saat dibangun pertama kali oleh pemerintah Belanda, puncak bangunan ini dihiasi kubah bundar khas bangunan eropa dengan patung ayam jantan. Pada masa pendudukan Jepang, kubah tersebut digantikan dengan atap klenteng sebagai lambang kejayaan Ras Kuning.

Baru pada masa kemerdekaan, puncak Jam Gadang diganti dengan bentuk atap rumah gadang bergonjong menandakan budaya Minangkabau. Angka penunjuk Jam Gadang bercirikan angka romawi. Uniknya, angka IV Romawi dituliskan dengan secara berbeda yakni IIII.

Puas melihat keindahan Jam Gadang, pelesiran bisa dilakukan ke sejumlah tempat bersejarah lainnya di Bukittinggi. Paling dekat dari area ini adalah Istana Bung Hatta yang sempat dijadikan sebagai kantor oleh proklamator kemerdekaan tersebut. Dari dalam kantor istana—sayap kiri bangunan berlantai dua itu—terlihat jelas panorama keelokan alam tiga gunung: Marapi, Singgalan, Sago.

Tak jauh dari Istana Bung Hatta, pengunjung bisa menapaki jalan di Pasar Atas menuju rumah kelahiran Sang Proklamator. Menelusuri jalan-jalan kecil yang memadati areal Pasar Atas, sebuah tangga akan menghubungkan pengunjung dengan Pasar Bawah. Tangga yang lumayan curam ini sering disebut warga setempat dengan nama ‘Janjang 40’ (tangga 40).

Nama tangga ini tidak menunjukkan jumlah anak tangga yang akan ditempuh. Jika dihitung, jumlahnya jauh lebih besar dari namanya. Begitu sampai di Pasar Bawah, sekitar 300 meter ke arah Payakumbuh, ada sebuah rumah berlantai dua yang menarik untuk dikunjungi.

Dindingnya beranyaman rotan dan bagian pondasi ditopang dengan bangunan permanen. Rumah kayu berlantai dua ini merupakan rumah kelahiran Bung Hatta dan tempat proklamator ini menghabiskan masa kecilnya. Di bagian belakang rumah terdapat dua lumbung padi dan ‘garase’ andong miliki keluarga Bung Hatta.

Sejumlah furnitur seperti meja, kursi, lemari, ranjang tidur Bung Hatta dilahirkan, serta ruang baca sang proklamator ini ditata menyerupai aslinya. Foto-foto Bung Hatta serta sepeda ontel miliknya bisa dijumpai di sini.

Puas berjalan-jalan di lokasi bangunan bersejarah ini, perjalanan bisa dilanjutkan untuk mengarungi kawasan Ngarai Sianok di jalan Panorama. Dari kediaman Bung Hatta, Delman bisa mengantarkan pengunjung kembali ke jantung kota—kawasan Jam Gadang.

Dari Jam Gadang, perjalanan bisa dilanjutkan dengan berjalan kaki menuruni jalan beraspal menuju Panorama yang berjarak sekitar satu kilometer. Keindahan Ngarai Sianok sering dijadikan wisatawan untuk menikmati matahari terbenam. Puas menikmati keelokan kota, sejumlah penginapan dengan harga beragam bisa dijadikan tempat menginap pengunjung melewati malam.

Hemm.,jadi ingat kampung halaman nihh penulis.,.hehehe

Tampilan terbaik menggunakan Google chrome dan Mozilla +5 layar 1280x854

2 comments:

  1. kapan balik kampung biar rame2 jalan2 kesana.........?

    ReplyDelete
  2. hehehe..Insya Allah bro,kapan Allah swt mengizinkan

    ReplyDelete